Senin, 15 Januari 2018

Download buku: 37 Masalah yg selalu jadi masalah

https://isymalulhijrisite.files.wordpress.com/2017/08/37-masalah-yg-selalu-jadi-masalah.pdf

Tilawah Quran Dalam Keadaan Haidh Haram, Kok Ada Yang Bilang Boleh dan Tidak Apa-apa?

Pertanyaan :
Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Pak Ustadz yang dirahmati Allah, saya beberapa kali hadir dalam majelis takllim yang ustadz menjadi nara sumbernya. Cuma tidak sempat bertanya on the spot karena tidak kebagian waktu. Jadi saya mohon izin bertanya di web ustadz saja, semoga berkenan.
Ini terkait dengan masalah baca Quran. Sepanjang yang saya ketahui dan saya sudah diajarkan sejak kecil bahwa kita wanita yang sedang haidh ini haram baca Quran. Namun dari beberapa ceramah yang saya dengar baik langsung di majelis taklim atau di youtube kok beberapa ustadz dan ustadzan ada yang ceramah katanya boleh karena nanti takut kalau tidak baca Al-Quran nanti hafalannya lupa. Padahal seingat saya sejak kecil saya diajarkan kalau lagi haidh tidak boleh baca Quran.
Saya jadi bingung dan mohon kasih saya penjelasan.
Terima kasih,
Wassalam
Jawaban :
Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Sebelumnya harus kita tegaskan terlebih dahulu bahwa yang sedang kita bicarakan ini adalah hukum melafadzkan ayat-ayat Al-Quran bagi wanita yang sedang haidh. Sedangkan menyentuh mushaf Al-Quran ada pembahasannya tersendiri, demikian juga dengan hukum membaca Al-Quran dalam hati tanpa menggerakkan lidah alias membatin dalam hati.
Umumnya para ulama sepakat bahwa wanita yang sedang haidh itu termasuk orang yang sedang berjanabah. Dan orang yang sedang berjanabah memang diharamkan untuk membaca Al-Quran.
Dalil keharamannya ada banyak sekali, di antaranya adalah hadits berikut ini :
لاَ تَقْرَأُ الْحَائِضُ وَلاَ الْجُنُبُ شَيْئًا مِنَ الْقُرْآنِ
Janganlah seorang yang sedang haidh atau junub membaca sesuatu dari Al-Quran. (HR. Tirmizy)
Dan juga ada hadits Ali bin Abi Thalib radhiyallahuanhu berikut ini :
عَلِيٍّ أَنَّهُ قَالَ: «كَانَ – عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ – لَا يَمْنَعُهُ مِنْ قِرَاءَةِ الْقُرْآنِ شَيْءٌ إِلَّا الْجَنَابَةُ
Dari Ali bin Abi thalib bahwa Rasulullah SAW tidak pernah terhalang dari membaca Al-Quran kecuali janabah.(HR. Ahmad)
Selain itu juga berdasarkan perbuatan dan perkataan Rasulullah SAW ketika usai membaca suatu ayat Al-Quran, beliau mengatakan sebagai berikut :
هذا لمن ليس جنباً أمَّا الجنب فلا ولا آية
Membaca Al-Quran dibolehkan untuk yang tidak berjanabah, sedangkan yang sedang berjanabah, maka tidak boleh walaupun hanya baca satu ayat. (HR. Ahmad)
Dengan sekian banyak hadits di atas, maka nyaris hampir seluruh ulama dan mujtahid di empat mazhab utama sepakat mengharamkan wanita yang sedang haidh untuk membaca Al-Quran secara lisan. Kalau pun ada yang membolehkan, sebenarnya tidak bisa dipungkiri, namun sebenarnya ijtihad semacam itu di kalangan ulama salaf sendiri tidak banyak pendukungnya, yaitu hanya sebagian ulama mazhab Maliki saja. Dan yang tegas-tegas bilang halal cuma satu yaitu Ibnu Hazm sebagai representasi dari mazhab Azh-Zhahiriyah. Kalau mazhab ini memang selamanya selalu berbeda. (baca : Ibnu Hazm Dan Beberapa Pendapat Kocaknya)
Berikut ini adalah rincian dan kutipan dari berbagai kitab fiqih yang muktamad terkait dengan masalah ini :
A. Mazhab Al-Hanafiyah
1. Kitab Al-Mabsuth
As-Sarakhsi (w. 483 H) menuliskan di dalam kitabnya Al-Mabsuth sebagai berikut :
وَلَيْسَ لِلْحَائِضِ مَسُّ الْمُصْحَفِ وَلَا دُخُولُ الْمَسْجِدِ وَلَا قِرَاءَةُ آيَةٍ تَامَّةٍ مِنْ الْقُرْآنِ،
Tidaklah seseorang yang haid boleh memegang mushaf, dan tidak pula masuk masjid, serta tidak diperbolehkan membaca satu ayat Al-Qur’an dengan sempurna.[1]
2. Kitab Badai’ Ash-Shanai’
Al-Kasani (w. 587 H) menuliskan di dalam kitabnya Badai Ash-Shanai fi Tartib Asy-Syarai’ sebagai berikut :
(وَأَمَّا) حُكْمُ الْحَيْضِ وَالنِّفَاسِ فَمَنْعُ جَوَازِ الصَّلَاةِ، وَالصَّوْمِ، وَقِرَاءَةِ الْقُرْآنِ، وَمَسِّ الْمُصْحَفِ إلَّا بِغِلَافٍ، وَدُخُولِ الْمَسْجِدِ، وَالطَّوَافِ بِالْبَيْتِ
Adapun hukum wanita haid dan nifas maka tidak diperbolehkan shalat, puasa, membaca al-Qur’an, memegang mushaf tanpa sampul, masuk masjid, dan thawaf di baitullah [2]
3. Syarah Fath Al-Qadir
Ibnul Humam (w. 681 H) menuliskan di dalam kitabnya Syarah Fath Al-Qadir sebagai berikut :
(وليس للحائض والجنب والنفساء قراءة القرآن) لقوله – عليه الصلاة والسلام – «لا تقرأ الحائض ولا الجنب شيئا من القرآن»
Dan tidaklah wanita haid, junub, dan nifas membaca al-Qur’an. Dikarenakan sabda Rasulullah: “Tidak boleh seorang yang haid dan junub membaca al-Qur’an. [3]
4. Kitab Tabyin Al-Haqaiq Syarah Kanzu Ad-Daqaiq
Az-Zaila’i (w. 743 H) menuliskan di dalam kitabnya Tabyin Al-Haqaiq Syarah Kanzu Ad-Daqaiq sebagai berikut :
قال – رحمه الله – (وقراءة القرآن) أي يمنع الحيض قراءة القرآن، وكذا الجنابة
Seseorang yang haid dilarang membaca al-qur’an begitu juga dengan junub. [4]
B. Mazhab Al-Malikiyah
Ibnu Rusyd (w 595 H) dalam kitabnya Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid menuslikan bahwa para ulama berbeda pendapat dalam hal ini, khususnya mazhab Maliki yang membolehkan dengan syarat dan alasan tertentu.
قِرَاءَةُ الْقُرْآنِ لِلْجُنُبِ : اخْتَلَفَ النَّاسُ فِي ذَلِكَ: فَذَهَبَ الْجُمْهُورُ إِلَى مَنْعِ ذَلِكَ، وَذَهَبَ قَوْمٌ إِلَى إِبَاحَتِهِ، وَالسَّبَبُ فِي ذَلِكَ الِاحْتِمَالُ الْمُتَطَرِّقُ إِلَى حَدِيثِ عَلِيٍّ أَنَّهُ قَالَ: «كَانَ – عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ – لَا يَمْنَعُهُ مِنْ قِرَاءَةِ الْقُرْآنِ شَيْءٌ إِلَّا الْجَنَابَةُ»
Membaca Al-Quran bagi yang berjanabah : orang-orang berbeda pendapat dalam masalah ini. Jumhur ulama mengharamkannya, namun ada sebagian yang membolehkannya. Penyebabnya karena adanya perbedaan pandangan dalam hadits Ali : bahwa Rasulullah SAW tidak pernah terhalangi dari membaca Al-Quran kecuali janabah.
وَقَوْمٌ جَعَلُوا الْحَائِضَ فِي هَذَا الِاخْتِلَافِ بِمَنْزِلَةِ الْجُنُبِ، وَقَوْمٌ فَرَّقُوا بَيْنَهُمَا، فَأَجَازُوا لِلْحَائِضِ الْقِرَاءَةَ الْقَلِيلَةَ اسْتِحْسَانًا؛ لِطُولِ مَقَامِهَا حَائِضًا، وَهُوَ مَذْهَبُ مَالِكٍ
Sebagian kalangan mengatakan bahwa haidh itu termasuk ke dalam status janabah, namun sebagian kalangan lain membedakan antara keduanya. Maka mereka pun membolehkan bagi wanita haidh untuk membaca Quran tapi sedikit saja dengan dasar istihsan. Dan mengingat bahwa haidh itu cukup panjang waktunya. Dan itu adalah pendapat mazhab Maliki. [5]
C. Mazhab Asy-Syafi’iyah
1. Kitab Al-Majmu Syarah Al-Muhadzdzab
An-Nawawi (w. 676 H) menuliskan di dalam kitabnya Al-Majmu Syarah Al-Muhadzdzab sebagai berikut :
في مذاهب العلماء في قراءة الحائض القرآن قد ذكرنا أنّ مذهبنا المشهور تحريمها ولا ينسى غالبا في هذا القدر ولأنّ خوف النّسيان ينتفي بإمرار القرآن على القلب …
Pendapat para ulama mengenai hukum wanita haid membaca al-Qur’an adalah haram…..Masa haid yang berangsung beberapa hari biasanya tidak sampai bisa membuat orang lupa pada hafalannya. Dan jika tetap khawatir lupa pada hafalannya, maka cukuplah ia menghafal/muraja’ah di dalam hatinya. [6]
2. Kitab Asna Al-Mathalib Syarah Raudhatu At-Thalib
Zakaria Al-Anshari (w. 926 H) menuliskan di dalam kitabnya Asna Al-Mathalib Syarah Raudhatu At-Thalib sebagai berikut :
(لم يحلّ وطؤها) ولا غيره من التّمتّع المحرّم والقراءة ومسّ المصحف ونحوها
Dan tidak di halalkan seorang wanita untuk digauli pada saat haid, begitu juga percumbuan yang diharamkan, serta melafadzkan Al-Quran serta menyentuhnya. [7]
3. Kitab Mughni Al-Muhtaj
Al-Khatib Asy-Syirbini (w. 977 H) menuliskan di dalam kitabnya Mughni Al-Muhtaj sebagai berikut :
وقيل تباح لها القراءة مطلقا خوف النّسيان بخلاف الجنب لقصر زمن الجنابة، وقيل تحرم الزّيادة على الفاتحة في الصّلاة كالجنب الفاقد للطّهورين
Dan ada yang berpendapat: diperbolehkan bagi wanita haid membaca Al-qur’an karena takut akan lupa hafalannya, karena masa haid lebih lama di banding dengan junub. Dan ada juga yang berpendapat : diharamkan wanita haid membaca lebih dari al-Fatihah dalam shalat. [8]
D. Mazhab Al-Hanabilah
Ibnu Qudamah (w. 620 H) menuliskan di dalam kitabnya Al-Mughni sebagai berikut :
ولنا: ما روي عن علي، – رضي الله عنه – «أن النبي – صلى الله عليه وسلم – لم يكن يحجبه، أو قال: يحجزه، عن قراءة القرآن شيء، ليس الجنابة.» رواه أبو داود، والنسائي، والترمذي، وقال: حديث حسن صحيح. وعن ابن عمر، «أن النبي – صلى الله عليه وسلم – قال: لا تقرأ الحائض ولا الجنب شيئا من القرآن.» رواه أبو داود، والترمذي
Pendapat kami yaitu hadist yang di riwayatkan oleh bin Umar: Bahwasannya Nabi bersabda: Wanita haid dan orang junub berhalangan untuk membaca Al-qur’an. (HR Abu Daud, An-Nasa’i dan At-Tirmidzi). Hadits Hasan Shahih. Dan Dari Ibnu Umar Rasulullah SAW bersabda: “Wanita haid dan junub tidak boleh membaca apapun dari al-Quran.” (HR. Abu Daud dan At-Tirmidzi) [9]
E. Mazhab Azh-Zhahiriyah
Ibnu Hazm (w. 456 H) menuliskan di dalam kitabnya Al-Muhalla bil Atsar sebagai berikut :
وقراءة القرآن والسّجود فيه ومسّ المصحف وذكر اللّه تعالى جائز، كلّ ذلك بوضوء وبغير وضوء وللجنب والحائض. برهان ذلك أنّ قراءة القرآن والسّجود فيه ومسّ المصحف وذكر اللّه تعالى أفعال خير مندوب إليها مأجور فاعلها، فمن ادّعى المنع فيها في بعض الأحوال كلّف أن يأتي بالبرهان.
Dan membaca Al-Qur’an, sujud, menyentuh mushaf, dzikir, itu semua boleh (bagi wanita haid). Semua itu boleh dilakukan dengan atau tanpa wudhu’, Dan boleh dilakukan oleh wanita haid maupun orang junub. Alasannya adalah bahwa membaca al-Quran, sujud, menyentuh mushaf dan dzikir adalah perbuatan yang baik, hukumnya sunnah, dan berpahala bagi yang melakukannya. Barang siapa yang melarang wanita haid untuk melakukan itu semua, maka harus disertai alasan. [10]
F. Fatwa Kontemporer
Di masa kontemporer ini kita menemukan fatwa tentang hal ini, di antaranya :
1. Syeikh Bin Baz
Syeikh Bin Baz (w. 1420 H) yang pernah menjadi mufti Kerajaan Saudi Arabia di masa lalu di dalam fatwanya juga mengharamkan wanita haidh baca Quran. Dan seandainya dia takut lupa hafalannya, maka cukup membaca dalam hati saja. Berikut petikan fatwa beliau :
والأرجح أنها تقرأ عن ظهر قلب؛ لأنها قد تنساه وقد تطول المدة.
Yang lebih rajih wanita haidh itu baca Quran dalam hati saja, biar tidak lupa karena terlalu lama haidhnya. [11]
2. Syeikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin
Syeikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin (w. 1421 H) yang pernah menjadi mufti Kerajaan Saudi Arabia di masa lalu ketika ditanya tentang masalah wanita haidh apakah boleh membaca Al-Quran dan melafadzkannya, beliau menjawab :
وأما قراءة القرآن للحائض فإنه لا بأس بها إذا كان المقصود التعليم أو التعلم أو أوراد الصباح أو المساء وأما إذا كان قصد الحائض من قراءة القرآن التعبد بذلك فإن فيه خلاف بين العلماء فمنهم من يجيزه ومنهم من لا يجيزه والاحتياط ألا تقرأ للتعبد لأنها إذا قرأت للتعبد دار الأمر بين أن تكون آثمة أو مأجورة ومعلوم أن من الورع أن يترك الإنسان ما يريبه إلى ما لا يريبه
Sedangkan membaca Al-Quran bagi wanita yang sedang haidh tidak mengapa, asalkan maksudnya untuk mengajar atau belajar, atau dengan niat membaca wirid (dzikir) pagi dan petang. Namun bila niatnya semata-mata untuk beribadah, maka para ulama berbeda pendapat dalam hukumnya. Sebagian membolehkan dan sebagian tidak membolehkan. Namun demi kehati-hatian jangan baca untuk tujuan beribadah, sebab ada dua kemungkinan antara berdosa atau berpahala. Dan sudah jadi maklum untuk kita bersifak wara’ (berhati-hati) dengan meninggalkan hal-hal yang meragukan kepada yang tidak meragukan. [11]
Catatan :
1. Mayoritas ulama sepakat mengharamkan wanita haidh melafadzkan Al-Quran dengan lisan, baik dengan suara lirih atau pun suara keras, hukumnya tetap haram. Namun bila bukan dengan lisan, hukumnya boleh, misalnya
a. Dalam Hati : Ayat Quran hanya dibatin dalam hati tanpa menggerakkan lidah, hukumnya boleh
b. Mendengar : Mendengarkan bacaan atau alunan ayat-ayat suci Al-Quran, hukumnya boleh.
c. Terjemah : Melafadzkan terjemahan Al-Quran dan bukan lafadz Arabnya, hukumnya boleh.
d. Doa dan Dzikir : Membaca doa dan dzikir yang diiqtibas dari ayat Al-Quran, asalkan tidak diniatkan membaca Al-Quran, tetapi hanya sebatas doa atau dzikir, hukumnya juga dibolehkan.
2. Dasar keharamannya adalah hadits-hadits yang melarang orang yang sedang berjanabah untuk melafadzkan Al-Quran, sedangkan wanita yang haidh termasuk ke dalam hitungan orang yang sedang berjanabah.
3. Namun ada satu dua ulama yang membolehkan wanita haidh melafadzkan Al-Quran, dengan beberapa alasan, diantaranya :
a. Haidh Beda Dengan Janabah : Menurut pandangan mereka bahwa wanita haidh tidak termasuk orang yang berjanabah. Sehingga tidak termasuk yang dilarang melafadzkan Al-Quran.
b. Darurat : Bagi wanita yang sedang menghafalkan Al-Quran, bila tidak membaca dikhawatirkan nanti lupa hafalannya. Sehingga dibolehkan karena darurat.
Wallahu ‘alam bishshawab, wassalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,


Ahmad Sarwat, Lc.,MA.(Rumah Fiqih Indonesia.Com)

Siapakah yang Berhak Mengambil Hukum Langsung Dari Al-Qur’an dan As-Sunnah ? Galih Maulana, Lc ,,, 2017

Sebagai seorang Muslim tentu saja harus menyandarkan segala gerak-gerik perbuatan dalam hidupnya kepada al-Qur’an dan sunah- sunah Nabi yang merupakan undang-undang dan sumber hukum dalam agama Islam.
Dalam sebuah hadits, Nabi berpesan agar kita, sebagai umatnya senantiasa berpegang teguh kepada al-Qur’an dan as-Sunnah agar tidak tersesat dalam kehidupan ini, beliau ﷺ bersabda:
تركت فيكم أمرين لن تضلوا ما تمسكتم بهما: كتاب الله وسنة نبيه[1]
“Aku tinggalkan kepada kalian dua perkara yang kalian tidak akan tersesat selama kalian berpegang teguh kepada keduanya, al-Qur’an dan as-Sunnah”
Berpegang teguh kepada al-Qur’an dan as-Sunnah maksudnya melaksanakan segala sesuatu dalam hidup ini berdasarkan kepada aturan dan ketentuan yang ditetapkan dan dijelaskn oleh al-Qur’an dan as-Sunnah.
Namun, dalam aplikasinya ternyata tidak semudah yang kita bayangkan, karena walaupun kebenaran al-Qur’an dan as-Sunnah sebagai petunjuk bagi manusia bersifat absolut, tetapi petunjuk atau maksud yang ingin disampaikan terkadang berbeda dengan teks dhohirnya. Hal inilah yang menjadi salah satu penyebab terjadi banyak perbedaan pendapat dikalangan ulama dalam satu masalah, padahal semuanya merujuk kepada ayat atau hadits yang sama.
Apabila semua orang dibiarkan mengambil hukum langsung kepada al-Qur’an dan as-Sunnah tentu ini akan menyebabkan kekacauan dan kesemerawutan dalam beragama, setiap orang bebas menafsirkan al-Qur’an sekehendak hati dan sebatas pengetahuannya saja, hingga nanti pada puncaknya, setiap orang punya kebenaran versi masing-masing.
Lalu pertanyaannya, siapa yang berhak dan punya otoritas untuk menggali hukum langsung dari al-Qur’an dan as-Sunnah?
Mujtahid Mutlak
Orang yang berhak menggali hukum langsung dari al-Qur’an dan as-Sunnah adalah orang yang sudah menguasai semua pengetahuan yang berkaitan dengan al-Qur’an dan as-Sunnah serta semua perangkat istinbath (analisa) yang digunakan untuk memahami maksud dari syari’at.
Orang yang sudah mencapai level tersebut disebut sebagai Mujtahid, namun ternyata, mujtahid juga ada levelnya, hanya mujtahid level tertinggi saja yang mampu mengambil hukum secara langsung dari al-Qur’an dan as-Sunnah tanpa terikat kaidah dan standar dari mujtahid lain. Dialah yang berhak mengatakan: “ini sesuai al-Qur’an menurut pendapat saya”.
Syekh Wahbah az-Zuahaili (w 1436 H) dalam kitabnya menyebutkan beberapa tingkatan mujtahid[2] :
Mujtahid mutlak mustaqil
Mujtahid mutlak ghoiru mustaqil (mujtahid muntasib)
Mujtahid muqoyyad
Mujtahid fatwa dan tarjih
Mujtahid fatwa (mufti) madzhab
Tingkatan mujtahid ini juga disebutkan oleh Imam Nawawi (w 676 H) dalam al-Majmu’[3], beliau -rohimahullah- juga menjelaskan sifat-sifat dan syarat-syarat para mujtahid tiap tingkatnya.
Syarat Mujtahid Mutlak
Untuk bisa mencapai level Mujtahid mutlak, seseorang harus memenuhi berbagai syarat yang begitu berat, Imam Nawawi bahkan sampai mengatakan bahwa sudah begitu lama tidak ada Mujtahid mutlak mustaqil, tentu itu karena beratnya syarat yang harus dipenuhi, sehingga jarang sekali yang mencapai level tersebut, beliau mengatakan:
ومن دهر طويل عدم المفتي المستقل وصارت الفتوى إلى المنتسبين إلى أئمة المذاهب المتبوعة[4]
“Dan sudah sekian lama tidak ada mufti (mujtahid) mustaqil, sehingga fatwa hanya berada ditangan para mujtahid muntasib”
Syarat-syarat yang harus dipenuhi agar berhak menjadi Mujtahid mutlak mustaqil adalah sebagai berikut:
1. Islam
Beragama Islam adalah syarat mutlak bagi seorang mujtahid, orang kafir tidak akan diambil fatwanya meski seandainya dia menguasai semua dalil-dalil agama dan mampu beristinbath.
2. Berakal
Fatwanya orang yang tidak berakal alias gila tidak akan diambil, walaupun seandainya orang gila ini dahulunya seorang mujtahid, karena ketika dia kehilangan akalnya, tidak ada filter atau timbangan untuk membedakan antara benar dan salah.
3. Baligh
Seorang anak yang belum baligh walau seandainya sudah mencapai derajat mujtahid, tidak diterima hasil ijtihadnya, karena belum sempurnanya kemampuan akal, yang mana dengan kesempurnaan akal itu merupakan alat untuk mecari dan membedakan benar dan salah.
4. Adil
Sesorang dikatakan adil apabila meninggalkan semua dosa besar, kemudian apabila melakukan dosa kecil dia tida melakukannya lagi dan tidak melakukan hal-hal yang mengurangi kewibawaan. Sebenarnya adil bukan syarat untuk mencapai derajat mujtahid, adil adalah syarat agar hasil ijtihadnya diterima[5].
5. Fiqh an-Nafs
Fiqh an-nafs maksudnya adalah dimana seseorang telah menguasai dan memahami semua nash-nash syar’i, mampu menghadirkannya dengan cepat ketika dibutuhkan, mampu menganalisa setiap detail-detail nash serta mampu mengaplikasikannya dalam setiap masalah dikehidupan nyata.
Fiqh an-nafs ini merupakan bakat yang merupakan anugrah dari Allah, sehingga tidak setiap orang mampu menguasainya, meskipun sudah berusaha sekuat tenaga. Imam al-Haromain (w 478 H) mengatakan:
ثم يشترط وراء ذلك كله فقه النفس فهو رأس مال المجتهد – ولا يتأتى كسبه – فإن جبل على ذلك فهو المراد، وإلا فلا يتأتى تحصيله بحفظ الكتب[6]
“kemudian disamping syarat yang sudah disebutkan, disyaratkan pula fiqh an-nafs yang merupakan modal pokok seorang mujtahid, dan fiqh an-nafs ini tidak bisa diusahakan (untuk mendapatkannya), apabila seseorang sudah mempunyai sifat tersebut (secara alami) maka itulah yang diharapkan, tetapi apabila tidak berbakat (secara alami) maka tidak bisa mendapatkannya walau dengan menghafal kitab-kitab.”
6. Memiiki ilmu tentang al-Qur’an
Memiki pengetahuan tentang al-Qur’an tidak cukup hanya sebatas mampu membaca dan memahami maknanya secara ijmal (global) saja, tetapi lebih dari itu dia mampu medapat ilmu sacara hakiki dari bacaannya tersebut, mampu mentadaburinya, mampu menganalisa dan menggali hukum darinya. Untuk mencapai hal tersebut, seorang mujtahid harus mengetahui beberapa ilmu tentang al-Qur’an, diantaranya:
Nasikh wa mansukh
Diharuskan bagi seorang mujtahid untuk mengetahui ayat-ayat yang mansukh, sehingga dia mengamalkan yang nasikh, untuk mengetahui nasikh mansukh jelas harus tau sejarah turunnya ayat, kapan ayat ini turun, kapan ayat itu turun, harus tau juga aturan dan syarat-syarat dalam nasikh wa mansukh, jenis-jenisnya dan semua hal yang berkaitan dengan nasikh wa mansukh.
Al-Am wa al-Khos
Seorang mujtahid harus tau mana ayat yang bersifat ‘am (umum) mana ayat yang bersifat khos (khusus), mana ayat yang ‘am tapi maksudnya khos, bagaimana aturan takhsis al-‘am, syarat-syaratnya dan semua hal yang berkaitan dengan al-am wa al-khos.
Al-Muthlak wa al-Muqoyyad
Seperti al-am wa al-khos, seorang mujtahid juga harus tau mana ayat yang mutlak mana ayat yang terikat (muqoyyad) bagaimana menggabungkan mutlak dan muqoyyad, aturan dan syarat-syaratnya.
Asbab an-Nuzul
Mengetahui asbab an-nuzul bertujuan agar seorang mujtahid tau bagaimana konteks ayat tersebut turun, mengerti maksud dan kondisi serta pengamalan akan ayat tersebut dalam konteks yang berbeda.
Lain-lain
Seperti mengetahui ayat dhohir dan ayat mu’awal, ayat mujmal dan ayat mubayyan, mana surat makki mana surat madani, yang mana penegtahuan tersebut akan mempengaruhi kedetailan hukum.
7. Memiliki pengetahuan tentang as-Sunnah
Memiliki pengetahuan tentang as-Sunnah tidak hanya terbatas pada tau cara membaca hadits dan memahami artinya secara ijmal, tetapi harus tau juga hal-hal yang sama pada al-Qur’an seperti nasikh mansukh, al-am wa al-muqoyyad al-muthlak wa al-muqoyyad, asbabu al-wurud dan lainnya.
Termasuk syarat bagi mujtahid mengtahui semua jenis dan ilmu-ilmu yang berkaitan dengan as-Sunnah, diantaranya:
Hadits mutawatir dan hadits ahad
Posisinya diantara hadits yang lain, syarat-syaratnya dan konskwensi hukum apa yang terjadi.
Hadits shohih dan dho’if
Seorang mujtahid harus tau posisi hadits, apakah shohih atau hasan atau dho’if, tau cara memakainya, syarat-syaratnya, dhobit-dhobitnya, dan segala hal yang berkaitan tentang diterima atau tidaknya suatu hadits dalam menetapkan hukum, baik itu pembahasan dalam mustholah hadits atau dalam ushul fiqh.
At-Tarikh wa ar-Rijal
Seorang mujtahid harus tau apa yang dibutuhkan dari sejarah periwayatan, kondisi para rowi (periwayat hadits), apakah rowi ini adil atau tidak, dipercaya atau tidak, pertemuan rowi dengan gurunya, dan bagaimana rowi menerima hadits dari gurunya, ini semua untuk mengetahui status hadits, apakah shohih atau dho’if, apakah muttashil atau munqothi’ dan selainnya yang berhubungan dengan sanad.
Asbab aj-jarh wa at-ta’dil
Begitu juga seorang mujtahid harus tau sebab-sebab seorang rowi itu di-tajrih, bagaimana standarnya (dhobitnya), jenis-jenisnya, kapan jarh itu dianggap dan kapan tidak dianggap dalam takhrij hadits, itu semua diperlukan untuk menentukan apakah hadits itu diterima atau tidak dalam pendalilan sebuah hukum.
Syadz, mahfudz, munkar dan ilal al-hadits
Imam al-Haromain (w 478 H) berkata:
والثالثة معرفة السنن، فهي القاعدة الكبرى ; فإن معظم أصول التكاليف متلقى من أقوال الرسول ﷺ وأفعاله وفنون أحواله، ومعظم آي الكتاب لا يستقل دون بيان الرسول ثم لا يتقرر الاستقلال بالسنن إلا بالتبحر في معرفة الرجال، والعلم بالصحيح من الأخبار والسقيم، وأسباب الجرح والتعديل، وما عليه التعويل في صفات الأثبات من الرواة والثقات، والمسند والمرسل، والتواريخ التي تترتب عليها استبانة الناسخ والمنسوخ[7]
“yang ketiga adalah pengetahuan tentang sunah-sunah Nabi, yang merupakan kaidah kubro, karena sebagian besar dalil taklif diperoleh dari ucapan-ucapan Rosul, perbuatan-perbuatannya dan keadaan-keadaannya. Dan sebagian ayat al-Qur’an tidak terlepas dari penjelasan Rosul, kemudian untuk memastikan kebenaran sebuah hadits harus ditempuh dengan mendalami pengetahuan tentang para rowi, mengetahui khobar Nabi apakah shoih atau tidak, tau sebab-sebab jarh wa ta’dil, dan apa-apa yang mempengaruhi kepastian suatu hadits dari keadaan setiap rowi dan kredibilitasnya, tau musnad dan mursal, tau sejarah wurudnya hadits sehingga dia tau hadits-hadits yang nasikh dan yang mansukh”
8. Memiliki pengetahuan tentang bahasa Arab
Seorang mujtahid wajib memahami dan menguasai bahasa arab, kaidah-kaidahnya, tarkib-tarkibnya dan lain-lain, itu semua karena al-Qur’an dan Hadits Nabi sebagai sumber hukum Islam menggunakan bahasa Arab.
Untuk mampu memahmi dan menganalisa maksud baik yang tersurat maupun tersurat dalam bahasa Arab, seorang mujtahid harus menguasai hal-hal dibawah ini;
Matan al-lughoh
Matan al-lughoh (متن اللغة) maksudnya adalah mengetahui dengan benar makna-makna setiap kosa kata bahasa Arab, ada yang bersifat murodif, musytarok dan sebagainya.
Nahwu
Dengan nahwu seorang mujtahid mengetahui struktur sebuah kalimat, sehingga mamudahkan dalam memahami maksud suatu kalam (ucapan)
Shorf
Dengan shorf seorang mujtahid mengetahui bagaimana suatu kata/kalimat terbentuk, tau mengapa suatu huruf bertukar, bertambah atau berkurang dan selainnya.
Balaghoh
Dengan balaghoh seorang mujtahid dapat mengetahui suatu kalimat apakah itu sebuah kinayah, atau majaz, apakah itu khobar atau insya dan lain-lain, yang pada intinya, membantu seorang mujtahid dalam memahami maksud yang ingin disampaikan dalam bahasa Arab yang begitu luas, indah dan dalam.
Imam al-Haromain mengatakan dalam kitabnya:
وينبغي أن يكون المفتي عالماً باللغة، فان الشريعة عربية، وإنما يفهَمُ أصولها من الكتاب والسنة من يعرف لغة العرب[8]
“Dan sudah selayaknya bagi seorang mufti (mujtahid) mengetahui bahasa Arab, karena syari’at Islam menggunakan bahasa Arab, dan bahwasanya dipahami dalil-dalil syariat itu oleh orang-orang yang paham bahasa Arab”
Namun bukan syarat seorang mujtahid untuk menguasai bahasa Arab secara keseluruhan, karena itu hal yang hampir mustahil, Imam Syafi’i (w 204 H) mengatakan:
ولسان العرب أوسع الألسنة مذهباً، وأكثرها ألفاظاً، ولا نعلمه يحيط بجميع علم إنسان غير نبي[9]
“Dan bahasa Arab merupakan bahasa yang paling luas (cangkupan maknanya), paling banyak kosakatanya, dan kami tidak tahu ada seorang pun yang menguasai secara keseluruhan selain seorang Nabi”
Tetapi yang dimaksud menguasai disini adalah kemampuan untuk memahami bahasa Arab, gaya bahasanya, cara penggunaanya dan sebagainya, yang mana membantu seorang mujtahid untuk memahami maksud yang ingin disampaikan.
9. Mengetahui masalah-masalah Ijma’
Wajib hukumnya seorang mujtahid mengetahui masalah-masalah yang sudah di-Ijma’kan, sehingga dia tidak berfatwa dalam suatu masalah menyelisihi apa yang sudah di-Ijma’kan. Seorang mujtahid juga harus mengetahui jenis-jenis Ijma, dan ketentuan-ketentuannya.
10. Mengetahui madzhab-madzhab ulama dalam masalah-masalah khilaf
Seorang mujtahid juga harus mengetahui madzhab-madzhab atau pemikiran-pemikiran ulama mutaqodimin, serta mengetahui pendapat-pendapat para salaf, agar dia mendapat cahaya dengan cahaya keilmuan ulama terdahulu, juga agar dia mendapat faidah dari pemikiran dan akal-akal para pendahulunya.
Imam Syafi’i berkata :
ولا يكون لأحد أن يقيس حتى يكون عالماً بما مضى قبله من السنن، وأقاويل السلف، وإجماع الناس، واختلافهم[10]
“dan tidak boleh seseorang berijtihad sampai dia mengetahu apa yang sudah berlalu, dari mulai sunah-sunah Nabi, ucapan-ucapan salaf (ulama terdahulu), ijma para ulama dan perselisihan mereka”.
11. Mengetahui ilmu Ushul fiqh
Diantara hal yang harus dikuasai seorang mujtahid bahkan yang terpenting adalah menguasai ushul fiqh, karena ushul fiqh merupakan asas dalam berijtihad, dengan ushul fiqh seorang mujtahid mampu menerapkan dalil pada madlul (objek dalil)nya dengan benar, dan mampu meng-istibath hukum dari dalil dengan benar.
Selain syarat-syarat di atas yang begitu berat, ada hal lain juga yang harus diperhatikan oleh seorang mujtahid, diantaranya adalah sikap waro’ atau berhati-hati dalam segala hal yang terindikasi kurang baik, terkenal dengan sikap taat beragama, dan sebagainya.
Imam Nawawi (w 676 H) -rohimahullah- berkata:
وينبغي أن يكون المفتي ظاهر الورع مشورا بالديانة الظاهرة والصيانة الباهرة
“Dan selayaknya seorang mufti itu harus memiliki sikap wara’, menampakkan sikap-sikap religius, dan mejaga penampilan yang elok”
Selain sikap-sikap di atas, di antara hal yang harus dimiliki oleh seorang mujtahid adalah rasa takut kepada Allah, takut kelak mempertanggungjawabkan fatwa-fatwanya di hadapan Allah ﷻ, Imam Malik (w 179 H) berkata:
من أجاب في مسألة فينبغي قبل الجواب أن يعرض نفسه على الجنة والنار وكيف خلاصه ثم يجيب
“Barangsiapa yang ingn menjawab suatu masalah (berfatwa) hendaklah dia mengajukan pada dirinya surga dan neraka, dan bagaimana dia terlepas dari neraka itu, barulah dia menjawab”
Pintu ijtihad memang masih terbuka, dan barangsiapa hendak menggali hukum langsung dari al-Qur’an, hendaklah dia sematkan atau deklarasikan dirinya sebagai mujtahid mutlak, dan supaya sah menjadi mujtahid mutlak hendaklah dipenuki syarat-syaratnya.
Terakhir, penulis ingin menyampaikan sebuah kata penuh hikmah yang terucap dari lisan orang yang mulia, Umar bin Abdul Aziz:
رحم الله امرئ عرف قدر نفسه
“Semoga Allah merahmati seseorang yang menyadari kapasitas dirinya”
Juga ucapan seorang Mujtahid mutlak, guru dari Mujtahid mutlak dan seorang Imam madzhab, Malik bin Anas, beliau berkata:
ما أفتيت حتى شهد لي سبعون أني أهل لذلك
“Aku tidak berfatwa sampai aku mendapat persaksian dari tujuh puluh orang (yang adil) bahwa aku memang sudah ahlinya”.(Rumah Fiqih Indonesia.Com)
[1] HR. Malik
[2] Al-Fiqhu al-Islami wa adillatuhu (1/62-63)
[3] Al-Majmu’ Syarh al-Muhadzab (1/42-45)
[4] Al-Majmu’ Syarh al-Muhadzab (1/43)
[5] Al-Mustashfa (1/342)
[6] Al-Burhan Fi Ushul al-Fiqh (2/1332)
[7] Al-Ghiyatsi (1/400)
[8] Al-Burhan (2/1330)
[9] Ar-Risalah, hal. 138


[10] Ar-Risalah, hal. 1449

Minggu, 10 Mei 2015

sufi

Syariat, Tarekat, Hakikat dan Makrifat itu SATU

Saya seringkali dapat pertanyaan lewat email tentang hubungan antara syariat dan hakikat. Pada kesempatan ini saya ingin sedikit membahas hubungan yang sangat erat antara keduanya. Syariat bisa diibaratkan sebagai jasmani/badan tempat ruh berada sementara hakikat ibarat ruh yang menggerakkan badan, keduanya sangat berhubungan erat dan tidak bisa dipisahkan. Badan memerlukan ruh untuk hidup sementara ruh memerlukan badan agar memiliki wadah.
Saidi Syekh Muhammad Hasyim Al-Khalidi guru Mursyid dari Ayahanda Prof. Dr. Saidi Syekh Kadirun Yahya MA. M.Sc mengibaratkan syariat laksana baju sedangkan hakikat ibarat badan. Dalam beberapa pantun yang Beliau ciptakan tersirat pesan-pesan tentang pentingnya merawat tubuh sebagai perhatian utama sedangkan merawat baju juga tidak boleh dilupakan.
Imam Malik mengatakan bahwa seorang mukmin sejati adalah orang yang mengamalkan syariat dan hakikat secara bersamaan tanpa meninggalkan salah satunya. Ada adagium cukup terkenal, “Hakikat tanpa syariat adalah kepalsuan, sedang syariat tanpa hakikat adalah sia-sia.” Imam Malik berkata, “Barangsiapa bersyariat tanpa berhakikat, niscaya ia akan menjadi fasik. Sedang yang berhakikat tanpa bersyariat, niscaya ia akan menjadi zindik.Barangsiapa menghimpun keduanya [syariat dan hakikat], ia benar-benar telah berhakikat.”
Syariat adalah hukum-hukum atau aturan-aturan dari Allah yang disampaikan oleh Nabi untuk dijadikan pedoman kepada manusia, baik aturan ibadah maupun yang lainnya. Apa yang tertulis dalam Al-Qur’an hanya berupa pokok ajaran dan bersifat universal, karenanya Nabi yang merupakan orang paling dekat dengan Allah dan paling memahami Al-Qur’an menjelaskan aturan pokok tersebut lewat ucapan dan tindakan Beliau, para sahabat menjadikan sebagai pedoman kedua yang dikenal sebagai hadist. Ucapan Nabi bernilai tinggi dan masih sarat dengan simbol-simbol yang memerlukan keahlian untuk menafsirkannya.
Para sahabat sebagai orang-orang pilihan yang dekat dengan nabi merupakan orang yang paling memahami nabi, mereka paling mengerti akan ucapan Nabi karena memang hidup sezaman dengan nabi. Penafsiran dari para sahabat itulah kemudian diterjemahkan dalam bentuk hukum-hukum oleh generasi selanjutnya. Para ulama sebagai pewaris ilmu Nabi melakukan ijtihad, menggali sumber utama hukum Islam kemudian menterjemahkan sesuai dengan perkembangan zaman saat itu, maka lahirlah cabang-cabang ilmu yang digunakan sampai generasi sekarang. Sumber hukum Islam itu kemudian dikenal memiliki 4 pilar yaitu : Al-Qur’an, Hadist, Ijmak dan Qiyas, itulah yang kita kenal dengan syariat Islam.
Untuk melaksanakan Syariat Islam terutama bidang ibadah harus dengan metode yang tepat sesuai dengan apa yang diperintahkan Allah dan apa yang dilakukan Rasulullah SAW sehingga hasilnya akan sama. Sebagai contoh sederhana, Allah memerintahkan kita untuk shalat, kemudian Nabi melaksanakannya, para sahabat mengikuti. Nabi mengatakan, “Shalatlah kalian seperti aku shalat”. Tata cara shalat Nabi yang disaksikan oleh sahabat dan juga dilaksanakan oleh sahabat kemudian dijadikan aturan oleh Ulama, maka kita kenal sebagai rukun shalat yang 13 perkara. Kalau hanya sekedar shalat maka aturan 13 itu bisa menjadi pedoman untuk seluruh ummat Islam agar shalatnya standar sesuai dengan shalat Nabi. Akan tetapi, dalam rukun shalat tidak diajarkan cara supaya khusyuk dan supaya bisa mencapai tahap makrifat dimana hamba bisa memandang wajah Allah SWT.
Ketika memulai shalat dengan “Wajjahtu waj-hiya lillaa-dzii fatharas-samaawaati wal-ardho haniifam-muslimaw- wamaa ana minal-musy-rikiin..” Kuhadapkan wajahku kepada wajah-Nya Zat yang menciptakan langit dan bumi, dengan keadaan lurus dan berserah diri, dan tidaklah aku termasuk orang-orang yang musyrik. Seharusnya seorang hamba sudah menemukan chanel atau gelombang kepada Tuhan, menemukan wajahnya yang Maha Agung, sehingga kita tidak termasuk orang musyrik menyekutukan Tuhan. Kita dengan mudah menuduh musyrik kepada orang lain, tanpa sadar kita hanya mengenal nama Tuhan saja sementara yang hadir dalam shalat wajah-wajah lain selain Dia. Kalau wajah-Nya sudah ditemukan di awal shalat maka ketika sampai kepada bacaan Al-Fatihah, disana benar-benar terjadi dialog yang sangat akrab antara hamba dengan Tuhannya.
Syariat tidak mengajarkan hal-hal seperti itu karena syariat hanya berupa hukum atau aturan. Untuk bisa melaksanakan syariat dengan benar, ruh ibadah itu hidup, diperlukan metodologi pelaksanaan teknisnya yang dikenal dengan Tariqatullah jalan kepada Allah yang kemudian disebut dengan Tarekat. Jadi Tarekat itu pada awalnya bukan perkumpulan orang-orang mengamalkan zikir. Nama Tarekat diambil dari sebuah istilah di zaman Nabi yaitu Tariqatussiriah yang bermakna Jalan Rahasia atau Amalan Rahasia untuk mencapai kesempurnaan ibadah. Munculnya perkumpulan Tarekat dikemudian hari adalah untuk menyesuaikan dengan perkembangan zaman agar orang-orang dalam ibadah lebih teratur, tertib dan terorganisir seperti nasehat Syaidina Ali bin Abi Thalib kw, “Kejahatan yang terorganisir akan bisa mengalahkan kebaikan yang tidak terorganisir”.
Kalau ajaran-ajaran agama yang kita kenal dengan syariat itu tidak dilaksanakan dengan metode yang benar (Thariqatullah) maka ibadah akan menjadi kosong hanya sekedar memenuhi kewajiban agama saja. Shalat hanya mengikuti rukun-rukun dengan gerak kosong belaka, badan bergerak mengikuti gerakan shalat namun hati berkelana kemana-mana. Sepanjang shalat akan muncul berjuta khayalan karena ruh masih di alam dunia belum sampai ke alam Rabbani.
Ibadah haji yang merupakan puncak ibadah, diundang oleh Maha Raja Dunia Akhirat, seharusnya disana berjumpa dengan yang mengundang yaitu Pemilik Ka’bah, pemilik dunia akhirat, Tuhan seru sekalian alam, tapi yang terjadi yang dijumpai disana hanya berupa dinding dinding batu yang ditutupi kain hitam. Pada saat wukuf di arafah itu adalah proses menunggu, menunggu Dia yang dirindui oleh sekalian hamba untuk hadir dalam kekosongan jiwa manusia, namun yang ditunggu tak pernah muncul.
Disini sebenarnya letak kesilapan kaum muslim diseluruh dunia, terlalu disibukkan aturan syariat dan lupa akan ilmu untuk melaksanakan syariat itu dengan benar yaitu Tarekat. Ketika ilmu tarekat dilupakan bahkan sebagian orang bodoh menganggap ilmu warisan nabi ini sebagai bid’ah maka pelaksanaan ibadah menjadi kacau balau. Badan seolah-olah khusuk beribadah sementara hatinya lalai, menari-nari di alam duniawi dan yang didapat dari shalat itu bukan pahala tapi ancaman Neraka Wail. Harus di ingat bawah “Lalai” yang di maksud disana bukan sekedar tidak tepat waktu tapi hati sepanjang ibadah tidak mengingat Allah. Bagaimana mungkin dalam shalat bisa mengingat Allah kalau diluar shalat tidak di latih ber-Dzikir (mengingat) Allah? dan bagaimana mungkin seorang bisa berdzikir kalau jiwanya belum disucikan? Urutan latihannya sesuai dengan perintah Allah dalam surat Al ‘Ala, “Beruntunglah orang yang telah disucikan jiwanya/ruhnya, kemudian dia berdzikir menyebut nama Tuhan dan kemudian menegakkan shalat”.
Kesimpulan dari tulisan singkat ini bahwa sebenarnya tidak ada pemisahan antara ke empat ilmu yaitu Syariat, Tarekat, Hakikat dan Makrifat, ke empatnya adalah SATU. Iman dan Islam bisa dijelaskan dengan ilmu syariat sedangkan maqam Ihsan hanya bisa ditempuh lewat ilmu Tarekat. Ketika kita telah mencapai tahap Makrifat maka dari sana kita bisa memandang dengan jelas bahwa ke empat ilmu tersebut tidak terpisah tapi SATU.
Tulisan ini saya copy dalam blog milik sesama muslim, teringat pesan-pesan Beliau akan pentingnya ilmu Tarekat sebagai penyempurnaan Syariat agar mencapai Hakikat dan Makrifat. Mudah-mudahan tulisan ini bisa menjadi renungan dan memberikan manfaat untuk kita semua. Amin!

Senin, 22 Desember 2014

hadits kematian

Kematian menurut dalam Pandangan ISLAM dan Hadits - Islam memberikan ajaran bahwa semua yang hidup pasti akan menemui ajal atau kematian. Kematian tidak akan bisa dicegah dan dielakkan. Umur seseorang ada yang dipanjangkan dan sebaliknya dipendekkan. Bahkan, panjang atau pendek umur seseorang berada pada wilayah takdir Allah. Tidak akan ada seorangpun yang mengetahui tentang kepastian umur itu.
Kematian menurut dalam Pandangan ISLAM dan Hadits
Oleh karena itulah,seorang muslim tatkala mendengar berita kematian, maka dianjurkan untuk segera mengucapkan inna lillahi wa inna ilaihi roojiuun, atau bahwa sesuangguhnya semua itu adalah milik Allah dan akan kembali kepada-Nya. Kematian seharusnya dianggap sebagai sesuatu yang lazim. Semua makhluk berasal dari Allah, dan pada saatnya akan kembali. Seseorang yang menemui ajalnya, maka artinya, ia telah kembali ke asalnya, yaitu Dzat Yang Maha Pencipta.

Menurut agama Islam, seseorang yang menemui ajalnya atau mati dianggap tidak masalah. Peritiwa itu adalah lazim terjadi, atau hal biasa, dan bahkan harus terjadi. Seseorang yang meninggal dunia dalam keadalaan muslim dianggap tidak ada masalah yang perlu dikhawatirkan atau ditakutkan. Kematian itu baru melahirkan masalah, manakala seseorang tatkala meninggal dunia tersebut dalam keadaan tidak sebagai seorang yang beriman.

Seseorang yang meninggal dunia dalam keadaan beriman, maka dijanjikan oleh Allah akan ditempatkan pada tempat yang mulia. Peristiwa kematian hanya dimaknai sebatas berpindah tempat, yaitu dari kehidupan di dunia kemudian beralih ke alam kubur dan berlanjut ke alam yang lebih kekal, yaitu akherat. Bagi siapapun, yang beriman dan bertaqwa, dijanjikan oleh Allah akan mendapatkan kebahagiaan yang tidak terputus-putus apalagi jika tujuan utama pernikahan sangat baik. Oleh karena itu, kematian tidak perlu dianggap menjadi sebuah persoalan.


Firman Allah :
"Katakanlah: Sekiranya kamu berada di rumahmu, niscaya orang-orang yang telah ditakdirkan akan mati terbunuh itu ke luar (juga) ke tempat mereka terbunuh”. Dan Allah (berbuat demikian) untuk menguji apa yang ada dalam dadamu dan untuk membersihkan apa yang ada dalam hatimu. Allah Maha Mengetahui isi hati. (QS Ali Imran, 3:154)

"Alangkah dahsyatnya sekiranya kamu melihat di waktu orang-orang yang zalim (berada) dalam tekanan-tekanan sakratulmaut, sedang para malaikat memukul dengan tangannya, (sambil berkata): “Keluarkanlah nyawamu”. Di hari ini kamu dibalas dengan siksaan yang sangat menghinakan, karena kamu selalu mengatakan terhadap Allah (perkataan) yang tidak benar dan (karena) kamu selalu menyombongkan diri terhadap ayat-ayat-Nya." (QS Al-An’am 6:93)"

(Yaitu) orang-orang yang dimatikan oleh para malaikat dalam keadaan berbuat lalim kepada diri mereka sendiri, lalu mereka menyerah diri (sambil berkata); “Kami sekali-kali tidak mengerjakan sesuatu kejahatan pun”. (Malaikat menjawab): “Ada, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang telah kamu kerjakan”. Maka masukilah pintu-pintu neraka Jahanam, kamu kekal di dalamnya. Maka amat buruklah tempat orang-orang yang menyombongkan diri itu." (QS, An-Nahl, 16 : 28-29)

"Dan dikatakan kepada orang-orang yang bertakwa: “Apakah yang telah diturunkan oleh Tuhanmu?” Mereka menjawab: “(Allah telah menurunkan) kebaikan”. Orang-orang yang berbuat baik di dunia ini mendapat (pembalasan) yang baik. Dan sesungguhnya kampung akhirat adalah lebih baik dan itulah sebaik-baik tempat bagi orang yang bertakwa, (yaitu) surga Adn yang mereka masuk ke dalamnya, mengalir di bawahnya sungai-sungai, di dalam surga itu mereka mendapat segala apa yang mereka kehendaki. Demikianlah Allah memberi balasan kepada orang-orang yang bertakwa. (yaitu) orang-orang yang diwafatkan dalam keadaan baik oleh para malaikat dengan mengatakan (kepada mereka): “Assalamu alaikum, masuklah kamu ke dalam surga itu disebabkan apa yang telah kamu kerjakan”. (QS, An-Nahl, 16 : 30-31-32)

قَالُوا رَبَّنَا أَمَتَّنَا اثْنَتَيْنِ وَأَحْيَيْتَنَا اثْنَتَيْنِ فَاعْتَرَفْنَا بِذُنُوبِنَا فَهَلْ إِلَى خُرُوجٍ مِّن سَبِيلٍ
Artinya : “Mereka menjawab: "Ya Tuhan kami Engkau telah mematikan kami dua kali dan telah menghidupkan kami dua kali (pula), lalu kami mengakui dosa-dosa kami. Maka Adakah sesuatu jalan (bagi kami) untuk keluar (dari neraka)?" (QS. Al Mu’min : 11)
“Allah mewafatkan jiwa pada saat kematiannya, dan jiwa orang yang belum mati dalam tidurnya, maka Allah yumsik (menahan) jiwa yang ditetapkan baginya kematian, dan melepaskan yang lain (orang yang tidur) sampai pada batas waktu tertentu.” (Al-Zumar (39): 42 )

"Mahasuci Allah Yang di dalam genggaman kekuasaan-Nya seluruh kerajaan, dan Dia Mahakuasa atas segala sesuatu. Yang menciptakan mati dan hidup untuk menguji kamu siapakah di antara kamu yang paling baik amalnya, dan sesungguhnya Dia Mahamulia lagi Maha Pengampun” (QS Al-Mulk [67]: 1-2)

"Mengapa kalian kafir kepada Allah, padahal kalian tadinya (benda) mati, lalu Allah menghidupkanmu, kemudian kalian dimatikan (lagi), lalu dihidupkan-Nya kembali, kemudian (pada akhirnya) kepada-Nya-lah kalian dikembalikan." (Al-Baqararah 2 : 28)

"Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Dan baru pada hari kiamatlah
disempurnakan pahalamu. Barang siapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke
dalam surga, maka sungguh ia beruntung. Kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah
kesenangan yang memperdayakan."(QS Ali'Imran: 185)

"Di mana saja kamu berada, kematian akan mendapatkan kamu, kendati pun kamu di dalam benteng yang tinggi lagi kokoh, dan jika mereka memperoleh kebaikan, mereka mengatakan: “Ini adalah dari sisi Allah”, dan kalau mereka ditimpa sesuatu bencana mereka mengatakan: “Ini (datangnya) dari sisi kamu (Muhammad)”. Katakanlah: “Semuanya (datang) dari sisi Allah”. Maka mengapa orang-orang itu (orang munafik) hampir-hampir tidak memahami pembicaraan sedikit pun?" (QS An-Nisa 4:78)
"Katakanlah: Sesungguhnya kematian yang kamu lari daripadanya, maka sesungguhnya kematian itu akan menemui kamu, kemudian kamu akan dikembalikan kepada (Allah), yang mengetahui yang gaib dan yang nyata, lalu Dia beritakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan”. (QS al-Jumu’ah, 62:8)
"Sesungguhnya Allah, hanya pada sisi-Nya sajalah pengetahuan tentang Hari Kiamat; dan Dia-lah Yang menurunkan hujan, dan mengetahui apa yang ada dalam rahim. Dan tiada seorang pun yang dapat mengetahui (dengan pasti) apa yang akan diusahakannya besok. Dan tiada seorang pun yang dapat mengetahui di bumi mana dia akan mati. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal." (QS, Luqman 31:34)
"Dan Allah sekali-kali tidak akan menangguhkan (kematian) seseorang apabila datang waktu kematiannya. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan." (QS, Al-Munafiqun, 63:11)

Kumpulan Hadits:
  • Sabda Rasulullah SAW: “Sakaratul maut itu sakitnya sama dengan tusukan tiga ratus pedang” (HR Tirmidzi)
  • Sabda Rasulullah SAW: “Kematian yang paling ringan ibarat sebatang pohon penuh duri yang menancap di selembar kain sutera. Apakah batang pohon duri itu dapat diambil tanpa membawa serta bagian kain sutera yang tersobek ?” (HR Bukhari)

Dalam tuntunan Islam, seseorang harus mempersiapkan datangnya peristiwa yang pasti akan terjadi itu seperti gambaran hari kiamat menurut alquran yang sering kita dengar. Persiapan itu berupa bekal, ialah berupa keimanan yang selalu terpelihara dan amal shaleh yang dilakukan secara ikhlas. Jika kedua hal itu sudah dipersiapkan sepenuhnya, maka dalam hidup ini tidak perlu ada yang dikhawatirkan lagi.

Kapan dan di mana pun, kematian itu harus diterima secara ikhlas, baik oleh yang bersangkutan maupun keluarga dan oleh semuanya. Selain itu, sebagai seorang yang selalu menjaga keimanan dan ke-Islamannya, maka hendaknya selalu berharap dan memohon kepada Allah, agar meninggal dengan khusnul khotimah.

Demikian terlihat bahwa kematian dalam pandangan Islam bukanlah sesuatu yang buruk, karena di samping mendorong manusia untuk meningkatkan pengabdiannya dalam kehidupan dunia ini, ia juga merupakan pintu gerbang untuk memasuki kebahagiaan abadi, serta mendapatkan keadilan sejati.

Rasulullah Shalallahu Alaihi Wasallam bersabda : "amalan2 itu tergantung akhirnya"..
Mari senantiasa perbaiki diri. Karena waktu, jam, menit, detik kapan kita meninggal tiada yang mengetahui selain ALLAH (wawanislam quote)
Wallahu a’lam

Ya Allah, jagalah kami, naungilah kami dengan hidayah dan taufiq-MU, matikan kami dalam keadaan khusnul khatimah. Aamiin...

Itulah Kematian menurut dalam Pandangan ISLAM dan Hadits, semoga kita senantiasa dapat menyambut mati dengan rasa senang dan bahagia..

kematian

Alhamdulillah, segala puji bagi Allah atas segala limpahan nikmat. Tidak ada satu nikmat kecuali itu berasal dari-Nya. Karenanya, kita harus senantiasa bersyukur kepada-Nya dengan menggunakan segala nikmat untuk taat kepada-Nya.Sesungguhnya kematian merupakan misteri bagi manusia. Tak seorangpun yang tahu kapan datangnya. Namun satu kepastian bahwa ajal (waktu kematian) seseorang sudah tercatat jauh hari di Lauhul Mahfudz sebelum manusia diciptakan. Dan ketika seseorang sudah tiba ajalnya, maka tidak bisa diajukan barang sesaat ataupun diundurkan. Allah Ta’ala berfirman,وَلِكُلِّ أُمَّةٍ أَجَلٌ فَإِذَا جَاءَ أَجَلُهُمْ لَا يَسْتَأْخِرُونَ سَاعَةً وَلَا يَسْتَقْدِمُونَTiap-tiap umat mempunyai batas waktu; maka apabila telah datang waktunya mereka tidak dapat mengundurkannya barang sesaat pun dan tidak dapat (pula) memajukannya.” (QS. Al A’raf: 34)Setelah kematian maka kesempatan beramal telah habis. Manusia akan mendapatkan balasan dari amal-amal perbuatannya di alam kubur, berupa nikmat atau adzab kubur. Dan ketika sudah terjadi kiamat, dia akan dibangkitkan dan mempertanggungjawabkan segala amal perbuatannya di hadapan Allah.Maka barang siapa yang bertakwa dan mengadakan perbaikan, tidaklah ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.“(QS.Al-A’raf:35)Sedangkan orang yang kafir dan ingkar terhadap kebenaran Islam, “Dan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami dan menyombongkan diri terhadapnya, mereka itu penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.“(QS.Al-A’raf:36)Kematian Mendadak Semakin Marak di Akhir ZamanDiungkapkan oleh Yusuf bin Abdullah bin Yusuf al Wabil dalam kitabnya Asyratus Sa’ah.Dalam kitabnya tersebut, Yusuf al-Wabil menyebutkan bahwa kematian yang datang tiba-tiba atau mendadak merupakan salah satu dari tanda dekatnya kiamat. Hal ini didasarkan pada beberapa kabar hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Salah satunya hadits marfu’ dari Anas bin Malik radliyallah ‘anhu,إِنَّ مِنْ أَمَارَاتِ السَّاعَةِ . . . أَنْ يَظْهَرَ مَوْتُ الْفُجْأَةِSesungguhnya di antara tanda-tanda dekatnya hari kiamat adalah . . . akan banyak kematian mendadak.” (HR. Thabrani dan dishahihkan oleh Al-Albani dalam Shahih al-Jami’ al-Shaghir no. 5899)Maksud Kematian MendadakBanyak sebab kematian, tapi kematian itu tetap satu. Hal ini menunjukkan bahwa kematian memiliki sebab, seperti sakit, kecelakaan, atau bunuh diri dan semisalnya. Sedangkan kematian yang tanpa didahului sebab itulah maksud kematian yang mendadak yang belum bisa diprediksi sebelumnya.Seiring majunya ilmu kedokteran, manusia bisa menyingkap tentang sebab kematian seperti kanker, endemik, atau penyakit menular. Penyakit-penyakit ini mengisyaratkan dekatnya kematian, tetapi sebab yang utama adalah mandeknya jantung secara tiba-tiba yang datang tanpa memberi peringatan.Para ulama mendefinisikan kematian mendadak sebagai kematian tak terduga yang terjadi dalam waktu yang singkat dan salah satu kasusnya adalah seperti yang dialami orang yang terkena serangan jantung.Imam al-Bukhari dalam shahihnya membuat sebuah bab, بَاب مَوْتِ الْفَجْأَةِ الْبَغْتَةِ “Bab kematian yang datang tiba-tiba”. Kemudian beliau menyebutkan hadits Sa’ad bin ‘Ubadah radliyallah ‘anhu ketika berkata kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,Sesungguhnya ibuku telah meninggal dunia secara mendadak dan aku yakin seandainya ia berbicara sebelum itu, pastilah dia ingin bersedekah. Maka dari itu, apakah dia akan mendapat pahala apabila jika aku bersedekah untuknya?” Beliaupun menjawab, “Ya“. (Muttafaq ‘alaih). . . kematian mendadak sebagai kematian tak terduga yang terjadi dalam waktu yang singkat dan salah satu kasusnya adalah seperti yang dialami orang yang terkena serangan jantung.Kematian Mendadak Dalam Pandangan UlamaSebagian ulama salaf tidak menyukai kematian yang datang secara mendadak, karena dikhawatirkan tidak memberi kesempatan seseorang untuk meninggalkan wasiat dan mempersiapkan diri untuk bertaubat dan melakukan amal-amal shalih lainnya. Ketidaksukaan terhadap kematian mendadak ini dinukil Imam Ahmad dan sebagian ulama madzhab Syafi’i. Imam al-Nawawi menukil bahwa sejumlah sahabat Nabishallallahu ‘alaihi wasallam dan orang-orang shalih meninggal secara mendadak. An-Nawawi mengatakan, “Kematian mendadak itu disukai oleh para muqarrabin (orang yang senantiasa menjaga amal kebaikan karena merasa diawasi oleh Allah).” (Lihat (Fathul Baari: III/245)Al-Hafidz Ibnu Hajar berkata, “Dengan demikian, kedua pendapat itu dapat disatukan.” (Fathul Baari: III/255)Terdapat keterangan yang menguatkan bahwa kematian mendadak bagi seorang mukmin tidak layak dicela. Dari Abdullah bin Mas’ud radliyallah ‘anhu, dia berkata,Kematian mendadak merupakan keringanan bagi seorang mukmin dan kemurkaan atas orang-orang kafir.” Ini adalah lafadz Abdul Razaq dan al-Thabrani dalam al-Mu’jam al-Kabir, sedangkan lafadz Ibnu Abi Syaibah, “Kematian mendadak merupakan istirahat (ketenangan) bagi seorang mukmin dan kemurkaan atas orang kafir.” (HR. Abdul Razaq dalam al Mushannaf no. 6776, al-Thabrani dalam al-Mu’jam al-Kabir no. no. 8865)Dari Aisyah radliyallah ‘anha, berkata, “Aku pernah bertanya kepada Rasulullahshallallahu ‘alaihi wasallam mengenai kematian yang datang tiba-tiba. Lalu beliau menjawab,رَاحَةٌ لِلْمُؤْمِنِ وَأَخْذَةُ أَسَفٍ لِفَاجِرٍItu merupakan kenikmatan bagi seorang mukmin dan merupakan bencana bagi orang-orang jahat.(HR. Ahmad dalam al-Musnad no. 25042, al-Baihaqi dalam Syu’ab al-Iman no. 10218. Syaikh al Albani mendhaifkannya dalam Dha’if al Jami’ no. 5896)
Diriwayatkan dari Abdullah bin Mas’ud dan Aisyah radliyallah ‘anhuma, keduanya berkata, “Kematian yang datang mendadak merupakan bentuk kasih sayang bagi orang mukmin dan kemurkaan bagi orang dzalim. (HR. Ibnu Abi Syaibah dalam al Mushannaf III/370, dan al-Baihaqi dalam al-Sunan al Kubra III/379 secara mauquf).Kematian mendadak yang dialami seorang mukmin adalah kebaikan baginya. Dia merdeka dari hiruk pikuk dunia yang menjemukan dan terbebas dari fitnah-fitnahnya.Alangkah indahnya hadits yang dijadikan sebagai penguat oleh Imam al-Baihaqi dalam al Sunan al-Kubra pada kitab “Al-Janaiz” Bab, “Fi Mautil Faj’ah”, dari hadits Abu Qatadah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah dilalui iring-iringan jenazah. Beliau lalu bersabda, “Yang istirahat dan yang diistirahatkan darinya.” Para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, apa maksud yang istirahat dan yang diistirahatkan darinya?” Beliau menjawab,الْعَبْدُ الْمُؤْمِنُ يَسْتَرِيحُ مِنْ نَصَبِ الدُّنْيَا وَأَذَاهَا إِلَى رَحْمَةِ اللَّهِ ، وَالْعَبْدُ الْفَاجِرُ يَسْتَرِيحُ مِنْهُ الْعِبَادُ وَالْبِلاَدُ وَالشَّجَرُ وَالدَّوَابُّSeorang hamba yang mukmin beristirahat dari keletihan dunia dan kesusahannya, kembali kepada rahmat Allah. Sedangkan hamba yang jahat, para hamba, negeri, pohon dan binatang beristirahat (merasa aman dan tenang) darinya. (HR. Muslim no. 950, Ahmad no. 21531)
Kematian mendadak yang dialami seorang mukmin adalah kebaikan baginya. Dia merdeka dari hiruk pikuk dunia yang menjemukan dan terbebas dari fitnah-fitnahnya. Sedangkan Kematian mendadak yang dialami seorang fajir merupakan kabar gembira bagi hamba Allah. Mereka akan terbebas dari gangguannya. Di antara gangguannya adalah kedzalimannya terhadap mereka, kesenangannya melakukan kemungkaran dan jika diingatkan malah menantang dan itu menyulitkan mereka. Jika diingatkan malah menyakiti dan bila didiamkan mereka menjadi berdosa. Sedangkan istirahatnya binatang adalah dikarenakan sang fajir tadi selalu menyakiti dan menyiksanya serta membebani di luar kemampuannya, tidak memberinya makan dan yang lainnya. Sedangkan istirahatnya negeri dan pepohonan adalah karena perbuatan jahat sang fajir hujan tidak turun, dia mengeruk kekayaannya dan tidak mengairinya.Kematian mendadak merupakan keringanan bagi seorang mukmin dan kemurkaan atas orang-orang kafir.” Ibnu Mas’udMenyikapi Kematian MendadakBagi orang yang berakal sehat tentu akan mengambil pelajaran dari fenomena yang ia saksikan. Terlebih fenomena tersebut telah disampaikan oleh orang yang terpercaya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Maka sepantasnya ia segera kembali kepada Allah dan bertaubat kepada-Nya, sebelum kematian itu menjemputnya.Imam al-Bukhari pernah berkata,Peliharalah waktu ruku’mu ketika senggang.Sebab, boleh jadi kematian akan datang secara tiba-tibaBetapa banyaknya orang yang sehat dan segar bugarLantas meninggal dunia dengan tiba-tibaDan setelah memahami adanya kematian yang mendadak, dan semakin sering terjadi pada akhir zaman (termasuk zaman kita ini), hendaknya kita mempersiapkan diri dengan bersegera menyambut seruan Allah untuk melaksanakan perintah-perintah-Nya dan menjauhi semua larangan-Nya. Dan perintah Allah yang paling utama adalah memurnikan tauhid kepada-Nya semata dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu, baik dalam masalah ibadah dan pengabdian, juga dalam masalah ketaatan dan ketundukan kepada syariat-Nya.Sesungguhnya kematian akan tetap datang ke manapun kita lari dan di manapun kita sembunyi. Tidak ada kekuatan di alam raya yang bisa melawan ketetapan ilahi ini. Dan setelah kematian, setiap orang akan mendapat balasan dari amal yang telah dikerjakannya di dunia. Maka bertakwalah kepada Allah, Wahai hamba-hamba Allah! Janganlah engkau menjadi orang yang menyesal ketika kematian datang dan minta diberi kesempatan untuk beramal. Sesungguhnya ajal tidak bisa ditangguhkan dan tidak bisa ditunda barang sesaat.Ketahuilah! sesungguhnya dunia ini terus berjalan ke belakang meninggalkanmu, dan akhirat berjalan mendatangi. Ingatlah saat kematian dan perpindahan ke alam Barzah. Dan (ingatlah) yang akan tergambarkan di hadapanmu, berupa banyaknya keburukan dan sedikitnya kebaikan. Maka, apa yang ingin engkau amalkan pada saat itu, segeralah amalkan sejak hari ini. Dan apa yang ingin engkau tinggalkan saat itu, maka tinggalkanlah sejak sekarang.Maka seandainya setelah mati, kamu dibiarkan. Sesungguhnya kematian itu merupakan kenyamanan bagi seluruh yang hidup. Namun. jika kamu telah mati, kamu pasti dibangkitkan dan akan ditanya tentang segala sesuatu, lalau diberi balasan dari setiap perbuatan. Kalau seperti itu, maka kematian merupakan sesuatu yang menakutkan dan menghawatirkan.KEMATIAN MENURUT AL-QUR’AN10- Sesungguhnya orang-orang yang kafir diserukan kepada mereka (pada hari kiamat): “Sesungguhnya kebencian Allah (kepadamu) lebih besar daripada kebencianmu kepada dirimu sendiri karena kamu diseru untuk beriman lalu kamu kafir”11- Mereka menjawab: “Ya Tuhan kami Engkau telah mematikan kami dua kali dan telah menghidupkan kami dua kali (pula), lalu kami mengakui dosa-dosa kami. Maka adakah sesuatu jalan (bagi kami) untuk keluar (dari neraka)?”Ketika manusia dikumpulkan dipadang Mahsyar pada hari berbangkit kelak dan orang kafir telah melihat dengan jelas akibat perbuatan mereka menentang ayat ayat Allah selama ini, mereka mengeluh : ” Ya Allah Engkau telah mematikan kami dua kali, dan menghidupkan kami dua kali pula, lalu kami mengakui dosa kami, adakah jalan keluar bagi kami dari kesulitan yang dahsyat pada hari ini (neraka jahanam) “. Dialog antara orang kafir dengan Allah ini diabadikan dalam surat Al Mukmin ayat 10 -11, sebagaimana kami kutipkan diawal artikel ini.Selama hidup didunia ini kita hanya mengerti bahwa mati dan hidup itu hanya sekali saja, namun setelah diakhirat kelak kita baru, mengerti bahwa kita hidup dan mati sebanyak dua kali. Memperhatikan dialog diatas kita jadi bertanya, apakah yang dimaksud dengan kematian itu? Dalam Al Qur’an dikatakan bahwa kita mati dan hidup sebanyak dua kali, padahal yang kita ketahui selama ini kita hidup dan mati hanya satu kali.Definisi mati menurut Al-Qur’anMati menurut pengertian secara umum adalah keluarnya Ruh dari jasad, kalau menurut ilmu kedokteran orang baru dikatakan mati jika jantungnya sudah berhenti berdenyut. Mati menurut Al-Qur’an adalah terpisahnya Ruh dari jasad dan hidup adalah bertemunya Ruh dengan Jasad. Kita mengalami saat terpisahnya Ruh dari jasad sebanyak dua kali dan mengalami pertemuan Ruh dengan jasad sebanyak dua kali pula. Terpisahnya Ruh dari jasad untuk pertama kali adalah ketika kita masih berada dialam Ruh, ini adalah saat mati yang pertama. Seluruh Ruh manusia ketika itu belum memiliki jasad. Allah mengumpulkan mereka dialam Ruh dan berfirman sebagai disebutkan dalam surat Al A’raaf 172:Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab: “Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi”. (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: “Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)”, (Al A’raaf 172)Selanjutnya Allah menciptakan tubuh manusia berupa janin didalam rahim seorang ibu, ketika usia janin mencapai 120 hari Allah meniupkan Ruh yang tersimpan dialam Ruh itu kedalam Rahim ibu, tiba-tiba janin itu hidup, ditandai dengan mulai berdetaknya jantung janin tersebut. Itulah saat kehidupan manusia yang pertama kali, selanjutnya ia akan lahir kedunia berupa seorang bayi, kemudian tumbuh menjadi anak anak, menjadi remaja, dewasa, dan tua sampai akhirnya datang saat berpisah kembali dengan tubuh tersebut.Ketika sampai waktu yang ditetapkan, Allah akan mengeluarkan Ruh dari jasad. Itulah saat kematian yang kedua kalinya. Allah menyimpan Ruh dialam barzakh, dan jasad akan hancur dikuburkan didalam tanah. Pada hari berbangkit kelak, Allah akan menciptakan jasad yang baru, kemudia Allah meniupkan Ruh yang ada di alam barzakh, masuk dan menyatu dengan tubuh yang baru sebagaimana disebutkan dalam surat Yasin ayat 51:51- Dan ditiuplah sangkakala, maka tiba-tiba mereka ke luar dengan segera dari kuburnya (menuju) kepada Tuhan mereka. 52- Mereka berkata: “Aduh celakalah kami! Siapakah yang membangkitkan kami dari tempat tidur kami (kubur)?” Inilah yang dijanjikan (Tuhan) Yang Maha Pemurah dan benarlah Rasul-rasul (Nya). (Yasin 51-52)Itulah saat kehidupan yang kedua kali, kehidupan yang abadi dan tidak akan adalagi kematian sesudah itu. Pada saat hidup yang kedua kali inilah banyak manusia yang menyesal, karena telah mengabaikan peringatan Allah. Sekarang mereka melihat akibat dari perbuatan mereka selama hidup yang pertama didunia dahulu. Mereka berseru mohon pada Allah agar dizinkan kembali kedunia untuk berbuat amal soleh, berbeda dengan yang telah mereka kerjakan selama ini sebagaimana disebutkan dalam surat As Sajdah ayat 12:Dan (alangkah ngerinya), jika sekiranya kamu melihat ketika orang-orang yang berdosa itu menundukkan kepalanya di hadapan Tuhannya, (mereka berkata): “Ya Tuhan kami, kami telah melihat dan mendengar, maka kembalikanlah kami (ke dunia), kami akan mengerjakan amal saleh, sesungguhnya kami adalah orang-orang yang yakin”. (As Sajudah 12)Itulah proses mati kemudian hidup, selanjutnya mati dan kemudian hidup kembali yang akan dialami oleh semua manusia dalam perjalanan hidupnya yang panjang dan tak terbatas. Proses ini juga disebutkan Allah dalam surat Al Baqaqrah ayat 28:Mengapa kamu kafir kepada Allah, padahal kamu tadinya mati, lalu Allah menghidupkan kamu, kemudian kamu dimatikan dan dihidupkan-Nya kembali, kemudian kepada-Nya-lah kamu dikembalikan? (Al Baqarah 28)Demikianlah definisi mati menurut Al-Qur’an, mati adalah saat terpisahnya Ruh dari Jasad. Kita akan mengalami dua kali kematian dan dua kali hidup. Jasad hanya hidup jika ada Ruh, tanpa Ruh jasad akan mati dan musnah. Berarti yang mengalami kematian dan musnah hanyalah jasad sedangkan Ruh tidak akan pernah mengalami kematian.Pada saat mati yang pertama, jasad belum ada namun Ruh sudah ada dan hidup dialam Ruh.Pada saat hidup yang pertama Ruh dimasukan kedalam jasad , sehingga jasad tersebut bisa hidup. Pada saat mati yang kedua, Ruh dikeluarkan dari jasad , sehingga jasad tersebut mati, namun Ruh tetap hidup dan disimpan dialam barzakh. Jasad yang telah ditinggalkan oleh Ruh akan mati dan musnah ditelan bumi. Pada saat hidup yang kedua, Allah menciptakan jasad yang baru dihari berbangkit, jasad yang baru itu akan hidup setelah Allah memasukan Ruh yang selama ini disimpan dialam barzak kedalam tubuh tersebut. Kehidupan yang kedua ini adalah kehidupan yang abadi, tidak ada lagi kematian atau perpisahan antara Ruh dengan jasad sesudah itu.Kalau kita amati proses hidup dan mati diatas ternyata yang mengalami kematian dan musnah hanyalah jasad, sedangkan Ruh tidak pernah mengalami kematian dan musnah. Ruh tetap hidup selamanya, ia hanya berpindah pindah tempat, mulai dari alam Ruh, alam Dunia, alam Barzakh dan terakhir dialam Akhirat. Pada saat datang kematian pada seseorang yang sedang menjalani kehidupan didunia ini, maka yang mengalami kematian hanyalah jasadnya saja, sedangkan Ruhnya tetap hidup dialam barzakh. Allah mengingatkan hal tersebut dalam surat Al Baqarah ayat 154 :Dan janganlah kamu mengatakan terhadap orang-orang yang gugur di jalan Allah, (bahwa mereka itu) mati; bahkan (sebenarnya) mereka itu h idup, tetapi kamu tidak menyadarinya. (Al Baqarah 154)Perjalanan panjang tanpa akhirKalau kita amati proses perjalan hidup dan mati seperti yang disebutkan diatas , maka yang mengalami kematian hanyalah jasad kita saja, sedangkan Ruh tidak pernah mengalami kematian. Sejak diciptakan pertama kali dan diambil kesaksiannya tentang ke Esaan Allah ketika dikumpulkan dialam Ruh sebagaimana disebutkan dalam surat Al A’raaf 172, mulailah Ruh menempuh perjalanan panjang yang tidak akan pernah berkahir.Sifat Ruh sama seperti energy, dalam ilmu fisika kita mengenal teori kekekalan Energy. Teori kekalan Energy mengatakan bahwa Energy bersifat kekal, tidak bisa dimusnahkan, dihancurkan ataupun dilenyapkan. Ia hanya mengalami perubahan bentuk. Ruh memiliki sifat seperti Energy ini, ia tidak bisa dimusnahkan, dilenyapkan ataupun dihancurkan, ia kekal selamanya, ia hanya berubah bentuk mulai dialam Ruh, alam Dunia, alam Barzakh dan alam Akhirat kelak.Kita bisa merasakan selama hidup didunia ini bahwa Ruh kita tidak pernah tidur atau beristirat. Kalau kita tidur pada malam hari, yang tidur adalah jasad atau jasmani kita sedang Ruh kita sendiri, pergi berjalan entah kemana. Ruh tidak bisa hancur, musnah dan lenyap namun ia bisa merasa lemah, sakit dan menderita. Ruh yang kurang mendapat perawatan akan menjadi lemah menderita dan sakit. Penyakit Ruh umumnya akan merembet pada penyakit fisik atau jasmani, penyakit ruh yang umum kita kenal antara lain, gelisah, kecewa, dengki, cemas, takut, sedih, tertekan dan stress berkepanjangan.Ruh mengalami proses pendewasaan selama hidup didunia. Semua bekal yang dibawa untuk perjalanan hidup dialam barzakh dan akhirat didapat dari alam dunia. Namun sayang selama hidup didunia banyak orang yang tidak memperdulikan kebutuhan Ruhnya untuk menghadapi perjalan panjang yang tak akan pernah berakhir ini. Kebanyakan manusia hanya fokus pada masalah kehidupan dunia, dan tidak perduli dengan masalah kehidupan akhirat yang lebih dahsyat dibandingkan dengan kehidupan dunia.Mereka baru menyadari kekeliruan mereka tatkala ruh telah sampai ditenggorokan, hingga tatkala mereka telah pindah kelam barzakh mereka mengeluh sebagaimana disebutkan dalam surat Al Mukminun ayat 99-100 :99- (Demikianlah keadaan orang-orang kafir itu), hingga apabila datang kematian kepada seseorang dari mereka, dia berkata: “Ya Tuhanku kembalikanlah aku (ke dunia),100- agar aku berbuat amal yang saleh terhadap yang telah aku tinggalkan. Sekali-kali tidak. Sesungguhnya itu adalah perkataan yang diucapkannya saja. Dan di hadapan mereka ada dinding sampai hari mereka dibangkitkan (Al Mukminun 99-100)Penyesalan itu memang selalu terlambat datangnya, namun penyesalan yang muncul setelah datangnya kematian hanyalah sesuatu yang sia-sia. Masa lampau tidak akan pernah kembali, kita hanya terus maju menghadang masa yang akan datang, apapun keadaan kita. Orang yang bijaksana akan mengumpulkan bekal sebanyak banyaknya untuk menempuh perjalanan panjang dialam barzakh dan akhirat. Orang yang lalai hanya fokus pada kehidupan dunia, tidak pernah mempersiapkan diri untuk menempuh perjalanan panjang itu. Bahkan terkesan tidak peduli dengan kehidupan akhirat. Sebagian besar manusia didunia termasuk kedalam golongan orang yang lalai ini, sebagaimana disebutkan dalam surat Yunus ayat 92:” …sesungguhnya kebanyakan dari manusia lengah dari tanda-tanda kekuasaan Kami.” Lebih tegas lagi disebutkan dalam surat al Insan ayat 27 :Sesungguhnya mereka (orang kafir) menyukai kehidupan dunia dan mereka tidak memperdulikan kesudahan mereka, pada hari yang berat (hari akhirat). (Al Insan 27)Mudah2an kita tidak termasuk orang yang lalai, seperti disebutkan dalam ayat Qur’an diatas. Mari kita persiapkan perbekalan kita untuk menempuh perjalanan panjang yang tidak akan pernah berakhir didunia dan akhirat. Penyesalan diakhirat kelak tidak ada gunanya, masa lalu tidak akan pernah kembali, masa yang akan datang pasti terjadi. Bersiaplah menghadap berbagai perubahan yang akan kita alami sepanjang perjalan hidup yang amat panjang dan melelahkan ini. Berbekallah sebaik baik bekal adalah Taqwa. (*)